Judul : Puya ke Puya
Penulis : Faisal
Oddang
Penerbit : KPG
(Kepustakaan Populer Gramedia)
Jakarta
Cetakan I, Oktober
2015
218 hlm
Surga diciptakan karena….
Setelah puluhan tahun kau
menunggu, kini kau telah berjalan ke surge. Ketika hamper tiba, ketika
kutanyakan ‘kenapa surge diciptakan?’ kau hanya bisa diam. Untuk apa kau
berjalan? Kau juga tidak tahu. Dasar manusia!
Kau hidup hanya untuk mati? Jika
seperti itu, betapa kasihan kau, saya dan leluhur kau yang lain, tentu sangat
kecewa. Tak pantas kau berjalan ke tempat suci ini—tak pantas kau menjadi orang
Toraja yang kami banggakan.
Pulanglah, pulanglah dahulu,
tanyakan kepada kawan kau yang lain, tanyakan kepada semua orang :
Kenapa surga diciptakan?
Puya dalam Bahasa Toraja artinya surga. Setiap orang tentu ingin
rohnya menuju surga kelak ketika waktunya telah tiba. Namun menuju puya
bagi orang Toraja terlebih bagi yang masih menganut kepercayaan "aluk
todolo" bukanlah hal yang mudah. Tak cukup hanya mati dan segera tiba di
puya. Ada perjalanan yang harus ditempuh.
Setelah
seorang meninggal, jenazahnya tak bisa langsung dikuburkan. Ada sebuah
upacara yang mesti dilaksanakan. "Rambu solo" atau upacara kematian,
dilaksanakan demi mengantar sang almarhum ke Puya. Dan tentu saja banyak
hal yang harus dikorbankan. Berpuluh babi dan berekor-ekor kerbau harus
siap. Bahkan jumlahnya bisa saja bertambah jika sang almarhum adalah
kaum keturunan bangsawan.
Siapa
yang mengorbankan? Tentunya keluargalah yang akan jadi pihak yang
bertanggung jawab. Istri/suami dan terutama anak-anak almarhum. Jangan
kira harga hewan-hewan itu murah saja. Seekor babi bisa berharga minimal
2 juta. Kerbau bahkan ada yang harganya mencapai harga sebuah mobil
alphard, atau ambillah patokan yang termurah 20 juta. Kalikan dengan
jumlah yang akan dipotong. Niscaya nilainya akan membuat kita tak
percaya. Belum lagi biaya lain untuk mengadakan pesta. Semua akan terasa
mencekik. Sudah berduka malah ditambah beban yang baru. Siapa yang
mampu tahan. Memang hewan-hewan itu tak semuanya keluarga yang sediakan.
Ada juga pemberian dari keluarga dekat maupun yang jauh. Tapi jangan
kira itu diberikan dengan percuma, semua itu terhitung hutang yang harus
dilunasi alias dikembalikan kelak saat mereka juga menyelenggarakan
hajat mereka. Bahkan orang cuma datang duduk membawa sebungkus teh, gula
atau kopi di acara kita pun haruslah kita ketahui untuk kelak kita
membalas kunjungan mereka.
Inilah
adat yang dipusingkan oleh Allu. Ayahnya meninggal ketika dia masih
kuliah. Darimana dia harus mendapatkan uang demi menyelenggarakan
upacara yang layak untuk ayahnya? Hingga akhirnya dia mengambil
keputusan akan membawa jenazah ayahnya ke Makassar agar dimakamkan di
sana saja agar tak ada adat yang perlu dia lakukan. Dibujuknya ibunya
agar setuju, dan lewat rapat keluarga dia mengemukakan idenya itu. Tentu
saja dia mendapat tentangan yang kuat dari seluruh keluarga ayahnya.
Tak boleh adat dilanggar
Kalau saja saya belum membaca
buku “Ayah Anak Beda Warna” karya Tino Sarungallo, tentunya saya tak bisa
bilang kalau novel ini seperti terinspirasi dari buku tersebut. Namun karena
saya kebetulan membaca buku itu setelah saya membaca novel ini, maka saya bisa
mengatakan hal tersebut. Ada beberapa kemiripan yang muncul, baik kisahnya
maupun tentang lokasi tempat yang dipilih. Namun bedanya, buku “Ayah Anak Beda
Warna” adalah berdasarkan kisah nyata pengalaman Tino, sementara novel ini
murni adalah karya fiksi.
Allu sang pemuda Toraja
yang masih berstatus anak kuliahan, harus pulang ke Toraja untuk menguburkan
ayahnya yang meninggal. Oleh karena ayahnya masih berstatus bangsawan, maka
acara pemakaman tentu harus dibuat semeriah mungkin sesuai tuntutan adat yang
ada. Masalah pun timbul, untuk acara seperti itu tentu saja akan membutuhkan
dana yang tak sedikit. Butuh berpuluh ekor kerbau untuk dikorbankan, belum lagi
biaya pembangunan lantang (bangunan
untuk mengadakan upacara), bahkan biaya acara pemakaman itu sendiri serta
biaya-biaya lainnya. Belum lagi masalah kepemilikan tongkonan milik keluarga
Allu yang ternyata sedang jadi incara Pak Kades serta pemilik tambang yang
beroperasi di kampung Allu. Masih ada pula masalah Allu dengan pacarnya yang
menelpon bahwa dia sedang hamil. Semua masalah datang bertubi-tubi. Namun
ternyata Allu adalah seorang yang tak terlalu pusing dengan banyak masalah itu.
Dia begitu mudah mencari penyelesaian masalah tanpa pernah berpikir
matang-matang. Allu benar-benar tipe orang yang menggampangkan setiap masalah. Dan
sepertinya di sini saya benar-benar tak suka pada karakter Allu. #ketokpalaAllu
Saya pasti bertanggung jawab, tetapi entah bertanggung jawab macam apa. Tidak menikahinya—jika memang sial dia hamil—juga merupakan bentuk tanggung jawab. Maksud saya, jika saya tidak menikahinya karena mengurus keluarga, kan itu bentuk tanggung jawab juga. Tapi sudahlah, saya tidak peduli. Persetan. Setelah mengatakan akan bertanggung jawab, saya kemudian mematikan ponsel. Saya tidak akan menghidupkannya selama di Toraja. Sebisanya, akan saya lakukan. (hlm. 73)
Selain perihal Allu, ada pula
karakter Maria, adik Allu yang meninggal saat bayi. Bagi kepercayaan adat orang
Toraja, jika seorang anak meninggal saat belum tumbuh gigi, maka dia akan
dianggap belum berdosa dan akan dimakamkan pada sebatang pohon (pohon tarra), sehingga diharapkan dia akan
bertumbuh seiring pertumbuhan pohon tersebut. Di sini Maria menceritakan
tentang kehidupannya di pohon, juga kisah cintanya dengan salah seorang penghuni
pohon tersebut (cinta terlarang tepatnya).
Lalu ada pula sudut pandang dari
seorang Rante Ralla, ayah Allu yang menanti acara pemakamannya untuk dia bisa
berangkat ke Puya (surga). Untuk bekal menuju Puya, dia perlu tunggangan. Tunggangan
ini adalah dalam bentuk kerbau yang harus dikorbankan untuk upacara pemakannya
tersebut. Semakin banyak tunggangan berarti semakin cepat mencapai Puya.
Ketiga sudut pandang tersebut
bercerita dengan dipisahkan oleh penanda :
*) untuk Rante
**) untuk Allu
***) untuk Maria
Awalnya saya sempat bingung
karena tak memperhatikan tanda-tanda tersebut, namun karena begitu sering
terjadi pergantian sudut pandang, maka tanda tersebut akhirnya bisa saya
kenali. Untuk pemberian nama Allu, agak aneh sih menurut saya, lebih enak kalau
Allu bernama Allo (lebih ada maknanya, yang dalam bahasa Toraja berarti
matahari), nama Allo lebih ke-Toraja-toraja-an daripada nama Allu hehe… (ini
sih hak paten penulis sebenarnya, mau kasih nama apa karakternya – pembaca dilarang
protes).
Kemudian bagaimanakah nasib
Rante, Allu, dan juga Maria? Temukan dalam novel ini. Membaca novel ini
terlihat sekali bagaimana usaha riset penulis, di mana beberapa hal bahkan saya sendiri yang
orang Toraja tak terlalu tahu dan memahami tentang adat Toraja. Dengan sampul bergambar orang yang sedang
mendaki tangga benar-benar menggambarkan orang yang tengah berjuang menaiki eran di langi’ demi menuju Puya (eran =
tangga, langi’ = langit).
Dan lalu, kenapa surga diciptakan?
Kisah yang cukup hebat menurut
saya, apalagi ditulis oleh anak muda yang notabene bukan orang Toraja asli. Salut
untuk Faisal Oddang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar