Halaman

Selasa, 27 September 2016

Puya ke Puya





Judul     : Puya ke Puya
Penulis : Faisal Oddang
Penerbit : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Jakarta
Cetakan I, Oktober 2015
218 hlm

Surga diciptakan karena….
Setelah puluhan tahun kau menunggu, kini kau telah berjalan ke surge. Ketika hamper tiba, ketika kutanyakan ‘kenapa surge diciptakan?’ kau hanya bisa diam. Untuk apa kau berjalan? Kau juga tidak tahu. Dasar manusia!
Kau hidup hanya untuk mati? Jika seperti itu, betapa kasihan kau, saya dan leluhur kau yang lain, tentu sangat kecewa. Tak pantas kau berjalan ke tempat suci ini—tak pantas kau menjadi orang Toraja yang kami banggakan.
Pulanglah, pulanglah dahulu, tanyakan kepada kawan kau yang lain, tanyakan kepada semua orang :
Kenapa surga diciptakan?


Puya dalam Bahasa Toraja artinya surga. Setiap orang  tentu  ingin rohnya menuju surga kelak ketika waktunya telah tiba. Namun menuju puya bagi orang Toraja terlebih bagi yang masih menganut kepercayaan "aluk todolo" bukanlah hal yang mudah. Tak cukup hanya mati dan segera tiba di puya. Ada perjalanan yang harus ditempuh. 

Setelah seorang meninggal, jenazahnya tak bisa langsung dikuburkan. Ada sebuah upacara yang mesti dilaksanakan. "Rambu solo" atau upacara kematian, dilaksanakan demi mengantar sang almarhum ke Puya. Dan tentu saja banyak hal yang harus dikorbankan. Berpuluh babi dan berekor-ekor kerbau harus siap. Bahkan jumlahnya bisa saja bertambah jika sang almarhum adalah kaum keturunan bangsawan.

Siapa yang mengorbankan? Tentunya keluargalah yang akan jadi pihak yang bertanggung jawab. Istri/suami dan terutama anak-anak almarhum. Jangan kira harga hewan-hewan itu murah saja. Seekor babi bisa berharga minimal 2 juta. Kerbau bahkan ada yang harganya mencapai harga sebuah mobil alphard, atau ambillah patokan yang termurah 20 juta. Kalikan dengan jumlah yang akan dipotong. Niscaya nilainya akan membuat kita tak percaya. Belum lagi biaya lain untuk mengadakan pesta. Semua akan terasa mencekik. Sudah berduka malah ditambah beban yang baru. Siapa yang mampu tahan. Memang hewan-hewan itu tak semuanya keluarga yang sediakan. Ada juga pemberian dari keluarga dekat maupun yang jauh. Tapi jangan kira itu diberikan dengan percuma, semua itu terhitung hutang yang harus dilunasi alias dikembalikan kelak saat mereka juga menyelenggarakan hajat mereka. Bahkan orang cuma datang duduk membawa sebungkus teh, gula atau kopi di acara kita pun haruslah kita ketahui untuk kelak kita membalas kunjungan mereka. 

Inilah adat yang dipusingkan oleh Allu. Ayahnya meninggal ketika dia masih kuliah. Darimana dia harus mendapatkan uang demi menyelenggarakan upacara yang layak untuk ayahnya? Hingga akhirnya dia mengambil keputusan akan membawa jenazah ayahnya ke Makassar agar dimakamkan di sana saja agar tak ada adat yang perlu dia lakukan. Dibujuknya ibunya agar setuju, dan lewat rapat keluarga dia mengemukakan idenya itu. Tentu saja dia mendapat tentangan yang kuat dari seluruh keluarga ayahnya. Tak boleh adat dilanggar

Kalau saja saya belum membaca buku “Ayah Anak Beda Warna” karya Tino Sarungallo, tentunya saya tak bisa bilang kalau novel ini seperti terinspirasi dari buku tersebut. Namun karena saya kebetulan membaca buku itu setelah saya membaca novel ini, maka saya bisa mengatakan hal tersebut. Ada beberapa kemiripan yang muncul, baik kisahnya maupun tentang lokasi tempat yang dipilih. Namun bedanya, buku “Ayah Anak Beda Warna” adalah berdasarkan kisah nyata pengalaman Tino, sementara novel ini murni adalah karya fiksi.

Allu sang pemuda Toraja yang masih berstatus anak kuliahan, harus pulang ke Toraja untuk menguburkan ayahnya yang meninggal. Oleh karena ayahnya masih berstatus bangsawan, maka acara pemakaman tentu harus dibuat semeriah mungkin sesuai tuntutan adat yang ada. Masalah pun timbul, untuk acara seperti itu tentu saja akan membutuhkan dana yang tak sedikit. Butuh berpuluh ekor kerbau untuk dikorbankan, belum lagi biaya pembangunan lantang (bangunan untuk mengadakan upacara), bahkan biaya acara pemakaman itu sendiri serta biaya-biaya lainnya. Belum lagi masalah kepemilikan tongkonan milik keluarga Allu yang ternyata sedang jadi incara Pak Kades serta pemilik tambang yang beroperasi di kampung Allu. Masih ada pula masalah Allu dengan pacarnya yang menelpon bahwa dia sedang hamil. Semua masalah datang bertubi-tubi. Namun ternyata Allu adalah seorang yang tak terlalu pusing dengan banyak masalah itu. Dia begitu mudah mencari penyelesaian masalah tanpa pernah berpikir matang-matang. Allu benar-benar tipe orang yang menggampangkan setiap masalah. Dan sepertinya di sini saya benar-benar tak suka pada karakter Allu. #ketokpalaAllu

Saya pasti bertanggung jawab, tetapi entah bertanggung jawab  macam apa. Tidak menikahinya—jika memang sial dia hamil—juga merupakan bentuk tanggung jawab. Maksud saya, jika saya tidak menikahinya karena mengurus keluarga, kan itu bentuk tanggung jawab juga. Tapi sudahlah, saya tidak peduli. Persetan. Setelah mengatakan akan bertanggung jawab, saya kemudian mematikan ponsel. Saya tidak akan menghidupkannya selama di Toraja. Sebisanya, akan saya lakukan. (hlm. 73)

Selain perihal Allu, ada pula karakter Maria, adik Allu yang meninggal saat bayi. Bagi kepercayaan adat orang Toraja, jika seorang anak meninggal saat belum tumbuh gigi, maka dia akan dianggap belum berdosa dan akan dimakamkan pada sebatang pohon (pohon tarra), sehingga diharapkan dia akan bertumbuh seiring pertumbuhan pohon tersebut. Di sini Maria menceritakan tentang kehidupannya di pohon, juga kisah cintanya dengan salah seorang penghuni pohon tersebut (cinta terlarang tepatnya).

Lalu ada pula sudut pandang dari seorang Rante Ralla, ayah Allu yang menanti acara pemakamannya untuk dia bisa berangkat ke Puya (surga). Untuk bekal menuju Puya, dia perlu tunggangan. Tunggangan ini adalah dalam bentuk kerbau yang harus dikorbankan untuk upacara pemakannya tersebut. Semakin banyak tunggangan berarti semakin cepat mencapai Puya. 

Ketiga sudut pandang tersebut bercerita dengan dipisahkan oleh penanda :
*) untuk Rante
**) untuk Allu
***) untuk Maria

Awalnya saya sempat bingung karena tak memperhatikan tanda-tanda tersebut, namun karena begitu sering terjadi pergantian sudut pandang, maka tanda tersebut akhirnya bisa saya kenali. Untuk pemberian nama Allu, agak aneh sih menurut saya, lebih enak kalau Allu bernama Allo (lebih ada maknanya, yang dalam bahasa Toraja berarti matahari), nama Allo lebih ke-Toraja-toraja-an daripada nama Allu hehe… (ini sih hak paten penulis sebenarnya, mau kasih nama apa karakternya – pembaca dilarang protes).

Kemudian bagaimanakah nasib Rante, Allu, dan juga Maria? Temukan dalam novel ini. Membaca novel ini terlihat sekali bagaimana usaha riset penulis, di mana beberapa hal bahkan saya sendiri yang orang Toraja tak terlalu tahu dan memahami tentang adat Toraja. Dengan sampul bergambar orang yang sedang mendaki tangga benar-benar menggambarkan orang yang tengah berjuang menaiki eran di langi’ demi menuju Puya (eran = tangga, langi’ = langit).
Dan lalu, kenapa surga diciptakan?


Kisah yang cukup hebat menurut saya, apalagi ditulis oleh anak muda yang notabene bukan orang Toraja asli. Salut untuk Faisal Oddang.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar