Halaman

Selasa, 13 September 2016

Cintaku di Lembata



Judul   : Cintaku di Lembata

Penulis : Sari Narulita

Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama

Jakarta, 2016

192 hlm



Dalam novel Cintaku di Lembata, kita membaca pertemuan Kayla dengan lelaki kelahiran Kupang yang beribu perempuan cantik asal Rote dan berayah Sabu. Untuk menarik empati masyarakat dan prajurit yang sedang bertugas di sana, gadis itu menyanyikan lagu Bolelebo diiringi music sasando. Tahun berlalu dan ketika lelaki itu kembali bertemu, diajaknya Kayla makan jagung bose (jagung yang dikupas kulit arinya) lalu dimasak dengan santan, dimakan dengan daging se’I sapi, minum air tuak dan air kelapa. Mereka memadu cinta, bertukar kata, bernapas, dan pergi lalu tak kembali.


Kayla, seorang mantan artis namun kini berprofesi penulis, karena ajakan sahabatnya Eleonora memutuskan untuk mengikuti kegiatan Adventure Lembata bersama sekitar 120an orang peserta rombongan untuk berkunjung ke Pulau Lembata di NTT. Menyusuri pulau Lembata sebagai sebuah objek wisata yang boleh dibilang termasuk masih baru di mata para wisatawan, menyaksikan reka utan (pesta kacang) di kampong tua Lewohala, mendaki puncak gunung, melihat perburuan ikan paus, juga melihat pembuatan garam secara tradisional serta menikmati berbagai spot wisata lainnya.

Awalnya Kayla sempat merasa ragu untuk ikut, apalagi kenangan akan Kupang kembali menyentak sanubarinya mengingat bertahun lampau dia pernah meninggalkan hatinya di kota tersebut. Akan tetapi bujukan Nora ternyata berhasil memikatnya untuk menjadi salah satu peserta rombongan, meninggalkan kesibukan kantor serta berjubel deadline pekerjaan. 

Begitu tiba di Bandara El Tari Kupang,secara misterius dia langsung berjumpa dengan Gringgo, pria yang dulu telah memikat hatinya jika tak bisa dibilang kekasih lama. Kemunculan Gringgo yang terus-menerus namun tetap secara misterius sempat mencurigakan bagi Nora tapi tak juga membuat Kayla yang dimabuk cinta untuk berfikir secara jernih. Cinta itu buta dan tuli.. tak melihat dan mendengar.. *psst eh ini sih lagu… 

Pokoknya bagi Nora, Gringgo adalah sosok misterius (bukan cuma Nora sih, saya juga menganggap Gringgo adalah makhluk misterius dan mengira dia adalah hantu hehehe… karena munculnya datang tak dijemput, pulang tak diantar) soalnya Nora tak pernah berjumpa dengan Gringgo, dan bahkan Gringgo hanya menampakkan diri pada Kayla di saat Kaya sedang sendiri.

“Kamu tidur, Kayla”
“Nggak kok. Malam ini aku janji pergi berdua dengan Gringgo,” kataku.
Nora berbalik ke arahku. Pandangannya aneh.”Laki-laki misterius itu?” tanyanya ketus.
“Dia baik sekali, Nora, dan aku jatuh cinta kembali padanya.”
“Hah, bagaimana bisa kau sebut baik? Bagiku dia misterius. Setiap akan kau kenalkan padaku, dia kabur!” (hlm. 130)



Benarkah Gringgo hanyalah bayang-bayang dari masa lalu Kayla, ataukah dia sosok nyata? Baca sendiri ya bukunya. 

Saya sendiri begitu memlihat sampul buku ini langsung teringat sebuah lagu yang sempat ngehits di wilayah timur Indonesia beberapa waktu lalu, entah ya kalo di daerah barat sana juga terkenal.. lagunya kurang lebih sperti ini : 

“Hei nona manis dari Lembata kau sungguh cantik membuatku tertarik… Hai nona manis dari Lembata… gayamu sungguh… sungguh makan biaya… “

Entah apa seperti itu liriknya, pokoknya buku ini mengingatkan saya pada lagu tersebut karena tentu saja kata Lembata-nya. Dulu saya juga tak tahu di mana itu Lembata tapi berkat lagu tersebut saya jadi tahu bahwa Lembata adalah sebuah kabupaten di Nusa Tenggara Timur sana yang tentu saja termasuk dalam wilayah Indonesia Raya.

Novel ini lebih seperti buku panduan perjalanan, mengingat banyaknya detail informasi tentang daerah Lembata, sehingga membuat kita mampu membayangkan seperti apa keadaan di sana, seperti yang disebutkan di atas, kemeriahan pesta kacang di kampung adat dan sebagainya diulas dengan cukup menarik juga mengenai perbuuruan ikan paus. Tapi sayangnya kisah cinta Kayla sepertinya memakan porsi yang cukup besar dibanding perjalanan wisata itu sendiri. Tapi tak apalah, toh judulnya saja adalah “Cintaku di Lembata”. Saya sendiri kadang agak jengkel terhadap Kayla bahkan juga Gringgo yang kesannya hanya saling menggantung. Huh, kenapa tak seorangpun yang mampu bersikap tegas? (spoiler alert) 

Yah.. tapi itulah permainan kata dan kisah dari sang penulis. Pembaca tak boleh protes. 

Tak pelak, membaca buku ini membuat saya ingin segera ikut pula menjejakkan kaki di Lembata sana, menghirup udara NTT bahkan menyaksikan secara langsung budaya adat-istiadat masyarakat di sana. Kapan ya…?

Oh ya, saya juga cukup penasaran dengan “Marlene” yang disebut-sebut dalam novel ini. Marlene bukanlah nama gadis bule tapi itu adalah nama parfum di Kupang sana, saking penasarannya saya meng-goggling si Marlene, tapi kemudian tak menemukan apapun hehehe…

Terakhir, di halaman terakhir penulis menorehkan bulan dan tahun. Entah apa maksudnya, mungkinkah itu tahun penulisan buku atau entah apa. Soalnya saya merasa agak terganggu dengan hal itu padahal dalam buku dikatakan bahwa ini adalah kegiatan Adventure Lembata 2014.




Note : Tulisan ini diikutsertakan dalam project battle challenge #31HariBerbagiBacaan 
Hari ke-2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar