Halaman

Selasa, 20 September 2016

Kerumunan Terakhir



Judul : Kerumunan Terakhir

Penulis : Okky Madasari

Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama

Jakarta, 2016

360 hlm



Sepotong kisah tentang kegagapan manusia di tengah zaman yang berubah cepat, yang tak member kesempatan setiap oramg untuk diam dan mengenang, berhenti dan kembali ke belakang.

Dari satu kerumunan ke kerumunan lainnya, dalam kebisingan dan keasingan, generasi zaman ini berbondong-bondong meninggalkan masa lalu menuju masa depan.

Tapi dimanakah masa depan itu?





Jayanegara, seorang pemuda putus kuliah, pengangguran, meski punya orang tua kaya seorang professor, dosen di di sebuah kampus, memutuskan untuk kabur dari rumah. Jayanegara sendiri termasuk korban broken home, ibunya pergi meninggalkan rumah karena kecewa pada suaminya si Bapak dosen yang ternyata selingkuh. Bosan dengan keadaan rumah, Jayanegara pun ikutan pergi, kabur tanpa tujuan hingga akkhirnya dia memutuskan untuk ke Jakarta menyusul Maera, kekasihnya di kampus dulu yang bekerja sebagai wartawan Koran di sana.

“Kenapa harus Jakarta?” Dia menjawab,”Kalau kita sudah bisa menaklukkan Jakarta, kita sudah menaklukkan seluruh Indonesia.” (hlm. 66)



Di ibukota, Jayanegara numpang hidup di kost Maera. Numpang yang benar-benar numpang, tak punya kerjaan jadi tak berpenghasilan sehingga hanya menjadi parasit buat Maera. Maera pun mengajarinya berkenalan dengan dunia internet, menjelajahi dunia baru. Awalnya niat Maera agar Jayanegara mampu mencari lowongan pekerjaan lewat google, agar dia tak melulu jadi pengangguran. Dan lihatlah, jayanegara yang awalnya tak tertarik sama sekali akhirnya terjun ke dunia baru tersebut, membentuk pribadi baru dengan nama yang baru, bahkan menjadi selebriti di dunia barunya itu. Segala cerita karangannya yang kadang dipelintir dari kehidupan pribadinya menjadi konsumsi publik yang terus ditunggu kelanjutan ceritanya oleh para pengikutnya. Lupalah ia akan tujuan utamanya memasuki dunia itu.

Bertemu orang – orang baru, berkenalan, dan memasuki berbagai jenis kerumunan menjadi pekerjaan hari-harinya. Di sini saya sendiri sempat bingung, darimana Jayanegara mendapat uang untuk mendukung hobi barunya itu. Berselancar di dunia internet tentu butuh biaya banyak untuk biaya paket internet, sayang tak disebutkan dalam buku ini, meski sempat diceritakan bahwa dia pernah pula mendapat kiriman jatah dari ayahnya. Ah, mungkin di kost-annya Maera ada wi-fi gratis (itu menurut saya) hehehe..Belum lagi hobi merokok Jaya yang pasti akan makan banyak biaya. Jaya oh Jaya… duh baru kali ini saya sebal sangat pada sang tokoh utama. Biasanya sebal tapi tidak sebal-sebal amat. Ini saya merasa sangat gemas, kok ya ada orang seperti ini. Tapi yah, mungkin inilah salah satu tanda keberhasilan penulis karena sukses membuat saya tak menyukai tokohnya, artinya dia berhasil menanamkan kesebalan itu dalam diri saya selaku sang pembaca. Bukan hanya Jaya sih, hampir semua tokohnya tidak menyenangkan. Ada si Bapak, professor, calon dekan namun ternyata tukang selingkuh yang munafik. Ada Akarjaya yang begitu terkenal, entah siapa sih dia? Tapi aslinya ternyata uh… (bacalah sendiri, biar penasaran). Dan bahkan saya tak suka pula pada Maera, serta masih banyak tokoh lainnya.

Okky Madasari sang penulis, adalah salah satu penulis favorit saya. Saya sendiri selalu menanti karya-karyanya. Meski kadang tulisannya boleh dibilang agak vulgar dan sangat berani serta sebaiknya menjadi konsumsi dewasa, namun saya suka akan kejujuran yang ditampilkan dalam setiap novel-novelnya. Dia selalu mengangkat masalah sosial yang tentu saja itu adalah realita di sekitar kita. Saya selalu bertepuk-tangan dan merasa euphoria setiap kali menyelesaikan membaca novel-novelnya. 

Untuk novel ini sendiri, yang membahas tentang kemajuan dunia internet yang menyerbu dunia sekarang ini, saya pikir mungkin memang seperti inilah yang terjadi pada realitasnya. Manusia kadang terjebak dalam dunia maya, menciptakan profile diri yang berbeda jauh dengan diri sendiri di dunia nyata. Semua itu demi mendapatkan pengakuan dari orang lain yang tak didapatkannya di dunia nyata. Seperti itulah si Jayanegara yang mengubah dirinya jadi Matajaya di dunia maya. Mungkin itulah hebatnya teknologi. Namun toh, semua kembali pada para penggunanya. Pintar-pintarlah memanfaatkan teknologi. Jangan malah terjebak dan menjadi orang bebal di dunia yang tak nyata itu.

Matajaya bukanlah Jayanegara. Jayanegara boleh kalah dan hidup dalam kesia-siaan, tapi tidak dengan Matajaya. Jayanegara hanya bisa hidup dalam gelap bayang-bayang bapaknya. Sementara Matajaya, ia adalah cahaya. Yang hidup di sini adalah Matajaya. Biarkan saja Jayanegara kalah di luar sana, mati, tergilas oleh waktu, dan akhirnya dilupakan begitu saja. (hlm. 192)

Pada akhirnya, saya agak kecewa dengan ending cerita yang ternyata biasa-biasa saja. Padahal saya sudah bersemangat mengikuti Jayanegara dan mengharapkan dia mendapat akhir yang lebih mengejutkan. Mungkin karena ekspektasi saya yang cukup tinggi. Namun tak apalah, karya ini tetap menghibur, dan ditunggu karya mbak Okky yang selanjutnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar