Halaman

Jumat, 30 November 2012

# 31 Gadis Kretek


Pengarang : Ratih Kumala
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan Pertama, Maret 2012
275 hlm

Karena bulan ini merupakan bulan untuk postingan bersama mengenai karya yang masuk dalam nominasi Khatulistiwa Literary Award (KLA) maka sayapun membaca ulang novel Gadis Kretek ini. 5 besar KLA ke 12 bisa di lihat di sini yang ternyata dimenangkan oleh .............................. (bacalah sendiri hehehe...)

Kembali ke Gadis Kretek, novel ini menceritakan tentang persaingan dan cinta segitiga di dunia kretek..
Meski saya tak begitu familiar dengan kretek ataupun rokok, namun dengan membaca novel ini saya merasa seakan-akan ikut mencium dan merasakan aroma kretek lewat setiap tulisan mbak Ratih ini.
Di mulai dengan peringatan di awal buku, peringatan yang sama yang sering kita baca di bungkus-bungkus rokok sekarang ini, bahkan kerap muncul saat iklan rokok ditayangkan di berbagai media.


Lebas, Tegar, dan Karim adalah 3 bersaudara anak Pak Soeraja pemilik sebuah pabrik kretek yang cukup terkenal yakni kretek Djagad Raja. Ketiganya mengadakan perjalanan ke kota M demi mencari seorang Jeng Yah yang diigaukan oleh ayah mereka yang tengah sekarat.
Di tengah pencarian mereka itu, kita di lempar ke masa silam untuk melihat kehidupan seorang pemuda bernama Idroes Moeria, yang sedang memperjuangkan karir dan juga cintanya. Persaingan penuh intrik dengan sahabat lamanya yang kemudian berubah jadi musuhnya mengantarkan dia menjadi pemilik pabrik kretek dengan merek dagang Kretek Merdeka dan Kretek Gadis. Setelah terseok-seok dari awal hanya dengan melinting kretek buatannya sendiri dengan etiket yang ditulisnya dengan tulisan tangan, hingga akhirnya memiliki berbagai merek dagang kretek, dan juga akhirnya berhasil menyunting gadis kembang desa yang rupanya juga di incar oleh saingannya. Begitu sulit masa-masa yang harus dilaluinya, bahkan sempat pula di tawan oleh tentara Jepang. Namun semua itu tak mematahkan semangatnya untuk terus membangun bisnisnya di bidang kretek. Sementara itu saingannya begitu kerap mengintilnya bahkan berkali-kali mencuri ide-idenya, membuat dia begitu geram.
Hingga akhirnya muncullah si pemuda Soeraja yang awalnya adalah seorang yang hidupnya luntang-lantung. Beruntung dia ditemukan oleh Dasiyah anak gadis Idroes Moeria, yang menolongnya dan menampungnya di rumah mereka. Namun karena masalah politik, Soeraja melarikan diri dan menemukan tempat bernaung yang baru di sebuah pabrik kretek lain. Inilah yang menjadi akar permasalahan dalam buku ini, yang harus diselesaikan oleh Lebas, Karim, dan Tegar. 
Ratih Kumala begitu pandai meramu cerita ini sehingga seperti yang saya bilang di atas, hanya membacanya saja kita sudah di buat seperti ikut-ikutan merasakan aroma kreteknya. Meski ada beberapa typo namun tak apalah karena masih bisa di mengerti. Selain itu penggunaan nama kota yakni kota M membuat saya cukup penasaran, kira-kira kota itu ada di mana. Soalnya kota lain di sebut dengan jelas seperti Jakarta, Surabaya, Kudus, dan Magelang. Sementara kota M cuma di sebut sebagai M saja. Ada yang tau itu di mana? 
Oh ya, mungkin lebih menarik barangkali kalau di baca sambil mengisap kretek.. (wakaka.. ini saran yang buruk, apalagi sudah ada peringatan di atas :) ...), ah, kalau saya cuma ditemani secangkir teh sudah lebih dari nikmat.


Jumat, 02 November 2012

#30 Turning Thirty


Penulis : Mike Gayle
Alih Bahasa : B Sendra Tanuwidjaja
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Mei 2011
432 hlm
 
Hmmm.. lama juga baru buku ini akhirnya berhasil saya selesaikan. Waktu itu saya melihat buku ini di sebuah toko buku dan memutuskan untuk membeli karena melihat judulnya saja. Lama tidak di sentuh hingga akhirnya saya selesaikan baca ketika ada sebuah giveaway dari seorang teman yang berkenaan dengan masalah thirty ini. Turning thirty karya Mike Gayle bercerita tentang pria bernama Matt Breckford yang berusia 29 tahun, berarti sedang menjelang usia 30 tahun. Di tengah tenggang waktu usia yang makin dekat itu, dia akhirnya menjadi "galau" , kalau meminjam istilah sekarang ini. Dan di tengah kegalauannnya itu dia memutuskan untuk berpisah dari pacarnya Elainne (mereka berpisah baik-baik dengan alasan sudah saling tidak mencintai lagi), juga resign dari kantornya dan memutuskan menerima tawaran pekerjaan di Australia yang masih 3 bulan lagi sehingga  dia pulang dulu ke Inggris kampung halamannya. Sebenarnya tak ada yang perlu dikhawatirkan oleh Matt, pekerjaannya bagus, punya pacar, dan kelihatannya semua baik-baik saja. Bahkan sebenarnya dia sangat menanti-nantikan usia 30 itu. Namun karena kegalauannya itu maka dia mengambil keputusan-keputusan yang di atas, dia akan pulang untuk beristirahat, bukan saja dari pekerjaan namun juga dari kehidupan (hlm. 51)
Sayangnya tinggal bersama orang tua rupanya sudah tak nyaman lagi baginya, situasi rumah mulai membuatnya tertekan, apalagi di usianya yang 29 itu. Meski dia sudah menghabiskan waktu dengan menghubungi teman-teman lamanya, namun semuanya tak lagi sama apalagi jika kau telah berpisah selama satu dekade. Kehidupan tentu sudah berbeda. 
Beberapa bagian dari buku ini berupa percakapan Matt dengan Elainne lewat email, bahkan buku ini diakhiri pula dengan email dari Matt yang merupakan klimaks cerita.
Lewat buku ini saya belajar bagaimana untuk hidup lebih bertanggung jawab. Usia 30 memang tidaklah berbeda dengan usia-usia lainnya. Namun mulai di usia inilah kita di tantang untuk bagaimana bertindak dan bersikap lebih dewasa lagi.

#29 The Naked Traveler 4

Penulis : Trinity
Penerbit : B first
Cetakan Pertama, September 2012
262 hlm.

Mbak Trinity emang gak pernah berhenti menyebarkan virus jalan-jalannya.. :)
Lewat buku yang ke empat ini, kita kembali di ajak berjalan-jalan menelusuri Raja Ampat di Papua, kemudian berkelana ke Afrika,  ke Samarinda, Gorontalo, Singapura, China, dan berbagai tempat lagi.
Sayangnya banyak dari kisah di buku ini yang sudah di muat di blognya sehingga berkesan tidak begitu baru lagi. Meski buku ini terkesan melompat-lompat, apalagi ketika bercerita tentang Raja Ampat, namun saya tetap menyukai bagian tentang Raja Ampat ini. Soalnya meski di kata saya tinggal tak jauh dari Raja Ampat, tapi saya sendiri baru satu kali berkesempatan untuk berkunjung ke sana. Itupun tidak sempat pergi ke semua tempat-tempat indah yang di sebutkan Trinity dalam buku ini. Memang benar wisata ke Raja Ampat itu mahal.. hehehe... Mengapa mahal? karena resort-resort kebanyakan sudah dimiliki oleh orang bule. Itulah sebabnya Trinity memilih menginap di resort milik orang lokal di Waiwo (hlm. 155 ), pssttt.. dari Raja Ampat yang luas dan indah itu, saya baru menginjak Waiwo itu. :)
Oh ya, satu lagi mengenai orang Papua yang sempat disebutkan dalam bab "Hidup terisolasi di Papua". Hufft.. memang benar, setiap kali saya bilang pada teman-teman saya kalau saya tinggalnya di Papua, selalu dibilangin " waaa... liat yang pake koteka dong.." sama seperti komentar dari teman Trinity. Padahal ya seperti dijelaskan Trinity kalau Papua itu luas. Sayang Trinity tidak menyebutkan kalau di Papua juga malah ada suku yang kulitnya putih, cantik-cantik lagi. Mana kalau rambutnya sudah dilurusin, pasti kalau dia ke Jawa or kemanalah di luar Papua, pasti gak ada yang bakalan nyangka kalau dia asli Papua..
"...Jadi, jangan berpikir bahwa orang Papua itu berkulit gelap, berambut keriting, dan memakai koteka semua.." (hlm. 37)

Uppss.. kok cuma cerita Raja Ampat sih....
Baiklah, selain bagian tentang Raja Ampat, saya juga suka membaca bagian tentang safari di Namibia, jadi pengen juga menyaksikan hewan-hewan "big five" itu. Bisa berwisata satwa langsung di habitat aslinya tentu kesannya sangat menakjubkan, lain dengan hanya melihat hewan di kebun binatang.
Serta masih banyak lagi tempat-tempat yang indah dan menakjubkan yang diceritakan dalam buku ini.
Semua diceritakan dengan lugas dan jujur. 
Hmmm... kapan ya bisa jalan-jalan ke tempat-tempat itu...?