Halaman

Jumat, 20 Maret 2015

Toraja, saat cinta menemukan jalan pulang





Judul : TORAJA
Saat cinta menemukan jalan pulang
Penulis : Endang SSN
Editor : Diaz
Penerbit : de TEENS
Cetakan Pertama
Agustus 2014
244 hlm

Travelling tentu saja menyenangkan apalagi bila digabungkan dengan hobby fotografi. Seperti itulah yang direncanakan oleh dua sahabat Tomi dan Sandy.
Tomi yang punya usaha distro sehingga tak apa jika sering-sering ditinggalkan, mengajak Sllndy yang  lari dari stress karena pengangguran dan juga karena merana akibat putus cinta.
Setelah mengundi 12 tujuan wisata, jadilah Toraja yang keluar sebagai pemenang.
Mendengar nama Toraja saja sudah membuat Sandy bergidik. Aura mistis yang kerap didengarnya tentang Toraja membuat dia ingin memindahkan saja tujuan mereka ke tempat yang lain. Tapi kata Tomi mereka harus maju terus pantang mundur.
Singkat cerita, tibalah mereka di Toraja, disambut hawa dingin yang menggigit  serasa mencubit-cubit.
Menginap di rumah Tangke, pemuda asal Toraja yang mereka temui di Makassar, mulailah mereka mengeksplorasi daerah tersebut. Banyak pengalaman yang didapatkan terutama bagi Sendy yang akhirnya menemukan cinta barunya di sana.

Sebagai salah satu dari serial Travelove, saya termasuk menunggu buku ini. bagaimanapun, batin saya terusik begitu tahu ada salah satu serial ini yang mengetengahkan daerah kelahiran saya. Karena sudah membaca review teman sebelumnya tentang novel ini, maka saya tak memiliki ekspektasi yang besar. Namun tetap saja saya berusaha untuk membeli buku ini. Nitip teman yang kebetulan ke Jogja tapi ternyata tidak ada, eh ternyata malah dapat di toko buku di kota saya. Senangnya...

Setelah membaca buku ini, saya kemudian mencatat hal-hal janggal yang saya temukan. Mulai dari typo salah nama yang agak sedikit membuat dahi berkerut, dan selanjutnya materi novel ini sendiri. 

Diceritakan Tomi, Sandy, dan Tangke berlari mengejar bus di Makassar begitu keluar dari Rumah makan depan bandara dan kemudian bergelantungan. Hal tersebut cukup aneh, karena biasanya jika kita ke terminal Daya untuk naik bus maka kita harus membeli tiket terlebih dahulu di loket bus tersebut, kemudian saat masuk dalam bus kondektur akan menghitung jumlah penumpang disesuaikan dengan catatan dari loket jadi tidak akan melebihi kapasitas sehingga harus bergelantungan. Tapi saya sempat mikir, mungkin saja karena mereka bertiga tidak melalui tahapan tersebut tapi asal loncat saja menunggu bus yang lewat. Hehehe... namanya juga fiksi. 

Masih soal bus, dikatakan busnya berhenti dan mereka turun di Terminal Bolu Rantepao. Sedangkan biasanya bus itu punya pangkalan sendiri-sendiri. Dan jika mereka menumpang bus berukuran kecil maka jelas bus akan mengantar langsung ke rumah masing-masing penumpang, atau paling tidak hingga di jalan utama yang masih bisa dilalui bus yang paling dekat dengan rumah penumpang. Setelah mengantarkan penumpang barulah bus kembali ke pangkalannya masing-masing. Tapi entah ya kalau sekarang... Biasanya seperti itu sih caranya setiap saya pulang kampung. Namun mungkin juga sih kalau pangkalan busnya itu terletak di pasar Bolu, maka tentunya disitulah perhentian terakhir bus.

Rantepao dikatakan desa. Wah, saya lahir dan dibesarkan di Rantepao tapi tak pernah menganggap Rantepao itu desa. Sebagai ibukota Kabupaten Toraja Utara, Rantepao meski hanya kota kecil, tapi cukup ramai. Bahkan sekarang ini jika musim libur sontak saja sering terjadi macet di mana-mana. Banyaknya kendaraan yang tak sebanding dengan kapasitas jalan raya menjadi penyebabnya. Dan kendaraan yang banyak sekarang adalah sitor. Sempat disebutkan juga dalam buku ini namun sepertinya salah penafsiran. Pete – pete disebut becak motor (hlm. 57). Padahal pete – pete itu ya angkot, kalau becak motor baru sebutannya sitor.

Kemudian yang terutama adalah saat pembahasan tentang tarian di acara Rambu Solo. Karena penasaran maka saya mencoba nanya om google tentang tarian adat Toraja, dan tak menemukan tarian ma’dondan. Yang ada adalah tarian ma’dandan. Hal serupa dikatakan ibu saya saat saya menanyakan hal tersebut ke beliau. Namun tarian tersebut hanya dilakukan pada acara syukuran atau Rambu Tuka’. Untuk hal ini sendiri saya kurang paham sebenarnya. Tapi ya itulah untungnya dunia maya, dengan gampang kita bisa mencari tahu segala sesuatunya.

Masih ada banyak hal lain lagi yang agak aneh semisal kepulan teh yang tiba-tiba saja di bawahnya jadi kepulan kopi. (hlm. 70) Sebenarnya lebih bagus memang kalau diceritakan tentang kopi, karena kopi juga merupakan salah satu ciri khas Toraja yang tentu saja pantas untuk diceritakan. Sama halnya dengan penganan alias camilan khas Toraja yang namanya tak disebutkan sama sekali dalam buku ini.

Dan kemudian tokoh Bira yang muncul bahkan di pertengahan cerita, padahal dia yang menjadi konflik dalam buku ini sebagai gadis yang tak direstui cintanya oleh sang ayah. Tapi tak ayal nama-nama yang disuguhkan membuat saya merasa lucu, soalnya nama-nama mereka memang khas nama Toraja, Tangke, Bira, Eban, dan Tato (sebenarnya lebih bagus Tato’ dengan koma atas, karena begitulah bahasa Toraja banyak menggunakan koma atas sebagai penekanan kata, kadang-kadang pula diganti dengan huruf q). Tapi Tato juga sebenarnya kurang lazim jadi nama seorang ayah, karena Tato’ itu sendiri artinya anak kecil. Eh, tapi bisa juga sih orang dewasa bernama Tato’. Jadi ingat guru olahraga saya di SMU dulu yang bernama Pak Yulianus Tato’. Apa kabarnya ya..? #Ah, abaikan saja penjelasan yang ini. Hahaha...

Masih banyak lagi yang pengen saya tulis tapi sepertinya sudah terlalu banyak, jadi cukup sampai di sini. Soalnya dengan adanya penulis yang mau mengangkat kampung halaman saya sebagai sebuah latar cerita saja sudah cukup menyenangkan. Saya tahu, bukanlah hal mudah untuk menulis sebuah cerita dengan latar belakang yang asing bagi setiap penulis. Tentu saja riset memang penting dan mesti diutamakan. Karena itu saya tetap memberikan apresiasi buat penulis. Ditunggu karya selanjutnya...