Pengarang :
Yoshici Shimada
Penerjemah :
Indah S. Pratidina
Penerbit :
Kansha Books
Cetakan III, Januari
2012
Akihiro-chan, ketika kelas dua
Sekolah Dasar tanpa tahu apa-apa “di
dorong” secara paksa oleh ibunya menaiki
kereta api saat mereka mengantar bibi ke stasiun untuk menuju ke Saga. Berawal
dari kejadian kecil inilah yang terus lekat dalam ingatannya bahkan kadang
membuatnya trauma dan selalu merasa sedih setiap melihat adegan perpisahan
anatara ibu dan anak. Rupanya ibunya bermaksud untuk meninggalkan Akihiro agar
tinggal dan di asuh oleh neneknya, karena terus berada di Hiroshima tidak akan
cocok lagi untuknya, apalagi ibunya sangat sibuk bekerja dan tidak punya waktu
untuk menjaganya. Namun bagi Akihiro : ‘hidupku sungguh berubah karena dorongan
ibu di hari itu (hlm. 26)’
Jadilah kehidupan baru Akihiro
bersama si nenek Osano di mulai. Meskipun berada dalam kemiskinan, namun ada
saja akal nenek untuk mendapatkan makanan maupun uang dan juga untuk berhemat.
Misalnya dengan meletakkan galah di sungai agar dapat memperoleh sisa-sisa
sayur dari pasar yang terbuang, mengikat magnet di pinggang setiap kali
berjalan pulang dari tempat kerjanya agar
benda-benda logam menempel dan di kumpul untuk di jual kembali, mengolah
topeng kulit semangka menjadi acar semangka, menjemur ampas teh dan membuatnya
jadi abon, membeli tahu yang rusak di
paman penjual tahu dengan harga yang lebih murah dan lain sebagainya.
Membaca buku ini mebuat saya
tertawa namun juga ikut terharu dengan kehidupan nenek dan Akihiro. Beberapa kutipan
dari buku ini yang sangat menginspirasi
antara lain :
“Nek, dua tiga hari ini, kita
makan kok hanya nasi ya, tanpa lauk?” Setelah berkata begitu, sambil tertawa
terbahak-bahak, nenekku menjawab, “Besok nasipun takkan ada kok.” (prolog)
-------> salut dengan si nenek, masih
bisa tertawa saat tahu bahwa besokpun tidak akan ada makanan lagi..
“Kalau kita jual, sampah logam
lumayan tinggi harganya. Benda yang jatuhpun kalau kita sia-siakan, bisa dapat
tulah.” (hlm. 41)
-------> dulu juga waktu kecil, saya
suka memungut uang logam yang jatuh di jalan tanpa malu-malu untuk mengisi celengan saya.. dan pungutan
terbesar saya adalah eh uang kertas 20 ribu rupiah.. serasa mendapat durian
runtuh waktu itu.. :)
“Lobak yang berujung dua sekalipun,
kalau di potong-potong dan direbus, sama saja dengan yang lain. Timun yang
bengkok sekalipun, bila di iris-iris dan dibumbui garam tetap saja timun” (hlm.
44)
-----> jangan pernah menyia-nyiakan
makanan, hufft, saya selalu sedih jika melihat makanan yang di buang-buang..
“Mulai besok kau lari saja, Tidak
perlu peralatan dan tempat berlarinya juga gratis” (hlm. 60)
------> hidup sehat namun hemat ala
nenek
“Ada dua jalan buat orang miskin,
miskin muram dan miskin ceria. Kita ini miskin yang ceria. Karena itu karena
bukan baru-baru ini saja menjadi miskin, kita tidak perlu cemas. “ (hlm. 63)
------> hidup miskin memang tak
pernah mengalangi kita untuk tetap ceria
“Kebaikan sejati adalah kebaikan
yang dilakukan tanpa diketahui orang yang menerima kebaikan” (hlm. 92)
-----> benar kan ya, kalau kita
berbuat baik, tak perlulah kita memberitahukan kebaikan itu,
Serta masih banyak lagi
kisah-kisah yang diceritakan oleh Yoshichi tentang kehidupannya bersama Nenek
Osano. Diceritakan secara sederhana namun tetap memukau membuat saya jadi
begitu kagum terhadap Nenek Osano. Prinsip hidup nenek Osano yang kalau di
lihat sepertinya sangat pelit, namun itu semua adalah karena kondisi kemiskinan
yang mereka alami. Meskipun miskin, namun nenek Osano tidaklah pelit, seperti
ketika diceritakan tentang seorang bibi yang datang meminjam uang dan tanpa
banyak tanya nenek langsung memberinya. Padahal kalau di pikir-pikir, kok ya
ada juga yang masih tega pinjam uang ke Nenek Osano. Tapi nenek tak pernah
mengeluh dalam kemiskinannya itu. Malahan dengan penuh ketegaran dia menghadapi
hidupnya dan mengajari cucunya untuk mengenal dan mengikuti prinsip2 hidupnya.
Ah, lagi-lagi 2 jempol untuk Nenek Osano.
Berdasarkan catatan tambahan di
bagian belakang buku, dikatakan bahwa Yoshichi (yang nama aslinya Akihiro Tokunaga) muncul sebagai bintang tamu
acara televisi Asahi TV yang di kenal semua orang dan memiliki jam tayang yang
sangat panjang “Tetsuko no Heya (Kamar Tetsuko)”. Acara ini di pandu oleh
Tetsuko Kuroyanagi penulis buku terkenal (favorit saya) Totto chan, Gadis cilik
di Jendela. Lewat acara inilah buku ini diperkenalkan dan besoknya pesanan
langsung membludak di toko-toko buku.
Uda lama jadi wishlist.. buku2 jepang memang paling hebat ya dalam menyampaikan pesan2 moral. Dorama2nya pun juga gitu... *gigit jari mupeng pengen baca*
BalasHapusYupp, ayo mbak Oky di baca... :)
Hapus