Judul : TORAJA
Saat cinta menemukan jalan pulang
Penulis : Endang SSN
Editor : Diaz
Penerbit : de TEENS
Cetakan Pertama
Agustus 2014
244 hlm
Travelling
tentu saja menyenangkan apalagi bila digabungkan dengan hobby fotografi.
Seperti itulah yang direncanakan oleh dua sahabat Tomi dan Sandy.
Tomi
yang punya usaha distro sehingga tak apa jika sering-sering ditinggalkan,
mengajak Sllndy yang lari dari stress
karena pengangguran dan juga karena merana akibat putus cinta.
Setelah
mengundi 12 tujuan wisata, jadilah Toraja yang keluar sebagai pemenang.
Mendengar
nama Toraja saja sudah membuat Sandy bergidik. Aura mistis yang kerap
didengarnya tentang Toraja membuat dia ingin memindahkan saja tujuan mereka ke
tempat yang lain. Tapi kata Tomi mereka harus maju terus pantang mundur.
Singkat
cerita, tibalah mereka di Toraja, disambut hawa dingin yang menggigit
serasa mencubit-cubit.
Menginap
di rumah Tangke, pemuda asal Toraja yang mereka temui di Makassar, mulailah
mereka mengeksplorasi daerah tersebut. Banyak pengalaman yang didapatkan
terutama bagi Sendy yang akhirnya menemukan cinta barunya di sana.
Sebagai
salah satu dari serial Travelove, saya termasuk menunggu buku ini.
bagaimanapun, batin saya terusik begitu tahu ada salah satu serial ini yang
mengetengahkan daerah kelahiran saya. Karena sudah membaca review teman
sebelumnya tentang novel ini, maka saya tak memiliki ekspektasi yang besar.
Namun tetap saja saya berusaha untuk membeli buku ini. Nitip teman yang
kebetulan ke Jogja tapi ternyata tidak ada, eh ternyata malah dapat di toko
buku di kota saya. Senangnya...
Setelah
membaca buku ini, saya kemudian mencatat hal-hal janggal yang saya temukan.
Mulai dari typo salah nama yang agak sedikit membuat dahi berkerut, dan
selanjutnya materi novel ini sendiri.
Diceritakan Tomi, Sandy, dan Tangke berlari mengejar bus di Makassar begitu keluar dari Rumah makan depan
bandara dan kemudian bergelantungan. Hal tersebut cukup aneh, karena biasanya
jika kita ke terminal Daya untuk naik bus maka kita harus membeli tiket
terlebih dahulu di loket bus tersebut, kemudian saat masuk dalam bus kondektur
akan menghitung jumlah penumpang disesuaikan dengan catatan dari loket jadi
tidak akan melebihi kapasitas sehingga harus bergelantungan. Tapi saya sempat
mikir, mungkin saja karena mereka bertiga tidak melalui tahapan tersebut tapi
asal loncat saja menunggu bus yang lewat. Hehehe... namanya juga fiksi.
Masih
soal bus, dikatakan busnya berhenti dan mereka turun di Terminal Bolu Rantepao.
Sedangkan biasanya bus itu punya pangkalan sendiri-sendiri. Dan jika mereka
menumpang bus berukuran kecil maka jelas bus akan mengantar langsung ke rumah
masing-masing penumpang, atau paling tidak hingga di jalan utama yang masih
bisa dilalui bus yang paling dekat dengan rumah penumpang. Setelah mengantarkan
penumpang barulah bus kembali ke pangkalannya masing-masing. Tapi entah ya
kalau sekarang... Biasanya seperti itu sih caranya setiap saya pulang kampung.
Namun mungkin juga sih kalau pangkalan busnya itu terletak di pasar Bolu, maka
tentunya disitulah perhentian terakhir bus.
Rantepao
dikatakan desa. Wah, saya lahir dan dibesarkan di Rantepao tapi tak pernah
menganggap Rantepao itu desa. Sebagai ibukota Kabupaten Toraja Utara, Rantepao
meski hanya kota kecil, tapi cukup ramai. Bahkan sekarang ini jika musim libur
sontak saja sering terjadi macet di mana-mana. Banyaknya kendaraan yang tak
sebanding dengan kapasitas jalan raya menjadi penyebabnya. Dan kendaraan yang
banyak sekarang adalah sitor. Sempat
disebutkan juga dalam buku ini namun sepertinya salah penafsiran. Pete – pete disebut becak motor (hlm.
57). Padahal pete – pete itu ya
angkot, kalau becak motor baru sebutannya sitor.
Kemudian
yang terutama adalah saat pembahasan tentang tarian di acara Rambu Solo. Karena penasaran maka saya
mencoba nanya om google tentang
tarian adat Toraja, dan tak menemukan tarian ma’dondan. Yang ada adalah tarian ma’dandan. Hal serupa dikatakan ibu saya saat saya menanyakan hal
tersebut ke beliau. Namun tarian tersebut hanya dilakukan pada acara syukuran
atau Rambu Tuka’. Untuk hal ini
sendiri saya kurang paham sebenarnya. Tapi ya itulah untungnya dunia maya,
dengan gampang kita bisa mencari tahu segala sesuatunya.
Masih
ada banyak hal lain lagi yang agak aneh semisal kepulan teh yang tiba-tiba saja
di bawahnya jadi kepulan kopi. (hlm. 70) Sebenarnya lebih bagus memang kalau
diceritakan tentang kopi, karena kopi juga merupakan salah satu ciri khas
Toraja yang tentu saja pantas untuk diceritakan. Sama halnya dengan penganan alias camilan
khas Toraja yang namanya tak disebutkan sama sekali dalam buku ini.
Dan
kemudian tokoh Bira yang muncul bahkan di pertengahan cerita, padahal dia yang
menjadi konflik dalam buku ini sebagai gadis yang tak direstui cintanya oleh
sang ayah. Tapi tak ayal nama-nama yang disuguhkan membuat saya merasa lucu,
soalnya nama-nama mereka memang khas nama Toraja, Tangke, Bira, Eban, dan Tato
(sebenarnya lebih bagus Tato’ dengan koma atas, karena begitulah bahasa Toraja
banyak menggunakan koma atas sebagai penekanan kata, kadang-kadang pula diganti
dengan huruf q). Tapi Tato juga sebenarnya kurang lazim jadi nama seorang ayah,
karena Tato’ itu sendiri artinya anak kecil. Eh, tapi bisa juga sih orang
dewasa bernama Tato’. Jadi ingat guru olahraga saya di SMU dulu yang bernama
Pak Yulianus Tato’. Apa kabarnya ya..? #Ah, abaikan saja penjelasan yang ini.
Hahaha...
Masih
banyak lagi yang pengen saya tulis tapi sepertinya sudah terlalu banyak, jadi
cukup sampai di sini. Soalnya dengan adanya penulis yang mau mengangkat kampung
halaman saya sebagai sebuah latar cerita saja sudah cukup menyenangkan. Saya tahu,
bukanlah hal mudah untuk menulis sebuah cerita dengan latar belakang yang asing
bagi setiap penulis. Tentu saja riset memang penting dan mesti diutamakan.
Karena itu saya tetap memberikan apresiasi buat penulis. Ditunggu karya
selanjutnya...
biar hemat gelantungan di bis :D
BalasHapusSelalu terkesan setiap kali nonton liputan ttg toraja di tv..
BalasHapus:)
toraja. jadi pengin ke sana. :3
BalasHapusAku bangga jdi orang toraja, dengan alamnya yg bgitu unik,
BalasHapus